Kamis, 29 Januari 2009

Sejarah Prabu Siliwangi

Sri Baduga Maharaja

Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun. Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran

Prabu Siliwangi

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".

Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Biografi

Masa muda

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):

"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.

Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

Perang Bubat

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Keterangan lain tentang perang bubat

Keterangan tetang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai berikut:

"Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rombongan punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang".

Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio.

Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.

Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Gelar "Sripaduka" ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3 tokoh : 1. Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh - menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada "PERANG BUBAT" dalam pertempuran yang tidak "FAIR" atas "REKAYASA" Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!

2. Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG

3. MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.


Rakeyan Mundinglaya

SILIWANGI I Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata / Ki Ageng Pamanah Rasa / Sunan Pagulingan / Kebo Kenongo / Rd. Kumetir / Layang Kumetir

Rakeyan Mundingwangi

SILIWANGI II Rd.Salalangu Layakusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Dewata Prana Sang Prabu Guru Ratu Dewata / Kebo Anabrang ?

Rakeyan Mundingsari /Mundingkawati

SILIWANGI III Tumenggung Cakrabuana Wangsa Gopa Prana Sang Prabu Walangsungsang Dalem Martasinga Syekh Rachmat Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati I Ki Ageng Pamanahan / Kebo Mundaran ?

Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:

Carita Parahiyangan

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

RAKEYAN MUNDINGSARI/MUNDINGKAWATI/TUMENGGUNG CAKRABUWANA WANGSA GOPA PRANA SANG PRABU WALANGSUNGSANG/DALEM MARTASINGA /SYEKH RACHMAT SYARIF HIDAYATULLAH SUNAN GUNUNG JATI I /KEBO ANABRANG ? SILIWANGI III /SUNAN RACHMAT adalah anak dari Hyang Warok / Susuk Tunggal /Sang Haliwungan

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).

Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].

Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :

  1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
  2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
  3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
  4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.

Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.

Peninggalan Prabu Siliwangi di Puncak Gunung Tampomas

GUNUNG Tampomas dengan kekuatan fenomena alamnya memang begitu unik, penuh misteri dan mampu menggoda rasa keingintahuan para petualang alam bebas untuk mencapainya. Jangan heran bila di satu sisi gunung ini dikaitkan pada berbagai hal berbau magis.

SALAH satu peninggalan sejarah di Gn. Tampomas.*DOK.IMAM

Gunung Tampomas yang menjulang tinggi di Kab. Sumedang memang tidak setenar gunung-gunung lainnya di Indonesia, tetapi Gunung Tampomas mampu memberikan pesona alam yang indah dan sarat dengan sejumlah cerita sejarah. Salah satu contohnya tapak kaki Prabu Siliwangi sang Raja Pajajaran, makam Rangga Hadi dan istrinya yang merupakan kerabat Prabu Siliwangi. Ini membuktikan bahwa Gunung Tampomas kaya akan keindahan alam, cagar budaya, serta sejarah dari raja Pajajaran.

Rute pendakian kami kali ini melalui Dusun Narimbang Kec. Conggeang Kab. Sumedang. Mentari pagi masih hangat membasuh kami. Geliat kehidupan Dusun Narimbang mulai terasa denyutnya. Satu dua penduduk mulai pergi ke ladang atau kebun. Sepanjang jalan menuju Dusun Narimbang akan ditemui kebun-kebun salak, kolam-kolam ikan yang airnya berasal dari Gunung Tampomas.

Sebetulnya ada beberapa rute pendakian menuju puncak Tampomas, lewat Desa Cibeureum, Desa Cimalaka atau lewat Dusun Narimbang. Jalur pendakian Dusun Narimbang merupakan jalur yang sering digunakan oleh para pendaki untuk mencapai puncak Tampomas.

Pukul 9.00 WIB, kami berdua mulai melakukan pendakian. Belum apa-apa kami dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang cukup menguras tenaga. Satu jam lebih kami tiba di sebuah pertigaan, yaitu rute dari arah Cibeureum, Narimbang dan dari arah Desa Jambu. Dari arah Narimbang terus lurus ke arah puncak, jangan berbelok ke arah kanan, karena kalau berbelok ke arah kanan akan menuju puncak Gunung Narimbang, bukan puncak Gunung Tampomas.

Sejenak kami beristirahat sambil memandangi tanjakan yang siap menghadang laju perjalanan kami. Dengan beban berat di punggung akhirnya kami sampai di sebuah batu besar. Penduduk setempat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas menyebutnya Batu Kukus. Karena menurut cerita penduduk setempat batu ini sering digunakan oleh para peziarah untuk bersemedi atau ngala berkah sebelum melanjutkan ziarah ke tempat yang lebih tinggi, yaitu tapak kaki Prabu Siliwangi, dan makam Rangga Hadi dan istrinya yang merupakan kerabat Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas.

Kami beristirahat di Batu Kukus sambil meregangkan kaki yang mulai terasa kaku dan pegal. Sekira sepuluh menit kami beristirahat dengan ditemani kesejukan udara serta kesegaran hembusan angin yang datang dari lembah-lembah sekitar Gunung Tampomas. Badan terasa segar kembali.

Kami dihadapkan pada rute yang cukup menanjak dan menantang, terutama rute Tanjakan Taraje. Dengan kemiringan sekitar 80 derajat diperlukan kehati-hatian ekstra karena jalanan terjal dan berbahaya.

Selanjutnya kami harus melewati beberapa rute lagi sebelum mencapai puncak Tampomas seperti melewati Batu Lawang atau Sanghiang Lawang, Sanghiang Tikoro dan Tanjakan Taraje, dan terakhir puncak Gunung Tampomas.

Hutan Tampomas yang bervariatif serta keharmonisan penghuni Tampomas membuat perjalanan kami terasa begitu indah. Sesekali suara binatang penghuni Tampomas saling bersahutan satu sama lain. Seakan-akan mengucapkan selamat datang dan salam persahabatan di Gunung Tampomas. Dengan semangat dan mental yang kuat untuk meraih puncak Gunung Tampomas, kami tiba di sebuah batu yang ukurannya cukup besar pula, disebut Batu Lawang. sebutan itu muncul karena persis di tengah-tengah batu seperti ada pintunya, maka masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas menyebutnya Batu Lawang (Lawang dalam bahasa Sunda berarti jalan masuk). Batu Lawang ini sering dikunjungi para peziarah, terutama para peziarah yang datang dari Sumedang, Indramayu, Majalengka, Cirebon dan sebagainya.

Sekira 500 meter lagi kami akan mencapai puncak Gunung Tampomas. Dengan berjalan menahan berat beban di pundak, akhirnya kami sampai juga di puncak Gunung Tampomas yang cuacanya menampakkan rasa persahabatan. Sujud syukur kami persembahkan atas keberhasilan kami mencapai puncak Gunung Tampomas. Naik turun perbukitan merupakan pengalaman yang sangat menguji baik fisik maupun mental, tetapi sangat mengasyikan dan terasa begitu indah ketika kami mencapai puncak. Kami merasa lebih dekat kepada Tuhan Sang Pencipta Alam.

Tampak dari kejauhan Gunung Ciremai berdiri tegak melambai-lambai seakan-akan mengucapkan selamat atas keberhasilan kami.(Imam Saefudin).***

Suatu Saat, Leuweung Sancang dan Leuweung Naga Tinggal
Nama 
 
 
BUKAN hanya sekali ini masyarakat adat Suku Naga di
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, memprotes
penebangan hutan di sekitar daerahnya. Dan bukan hanya
sekarang masyarakat Desa Sancang di Kabupaten Garut
minta agar perambahan dan pencurian kayu di Cagar Alam
Leuweung Sancang ditindak. Namun, desakan itu ibarat
angin lalu. Bahkan mitos masyarakat Sunda yang
melindungi kedua kawasan tersebut kini sudah porak
poranda karena mereka kehilangan jati dirinya.
 
BERJALAN menyusuri Cagar Alam Leuweung Sancang
sekarang ini, rasanya tidak lagi berada di tengah
hutan yang selama ini dijuluki belantara keangkeran.
Dalam cerita pantun, cagar alam yang oleh penduduk
setempat sering dijuluki Leuweung Sancang itu penuh
dibalut mitos sebagai tempat pertemuan kembali Prabu
Siliwangi dengan putranya, Kian Santang, setelah lama
mengembara mencari ilmu.
 
Namanya juga mitos. Konon setelah menghindar lalu
meninggalkan Keraton Pajajaran di Pakuan, Bogor,
secara diam-diam, Prabu Siliwangi dan rombongan
melanjutkan perjalanan, menemui kerabatnya Kanjeng
Maharaja Dilewa yang berkuasa di Kerajaan Sancang.
Namun, ayah dan anak itu kemudian bertemu kembali
dalam dua keyakinan yang berbeda. Ayahnya tetap
bersikukuh mempertahankan kepercayaannya dengan
menganut agama Sunda sedangkan sang anak Kian Santang
sedang menjalankan tugas mengislamkan Tanah Jawa.
 
Kompas/her suganda
Maka untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan dengan anaknya, Prabu Siliwangi
kemudian ngahyang, berubah wujud menjadi harimau
putih. Pasukan pengiringnya yang setia menjadi harimau
berbulu loreng. Itulah sebabnya banyak simbol-simbol
di Jawa Barat menggunakan lambang harimau.
 
Leuweung Sancang yang dijadikan tempat persinggahan
terakhir Prabu Siliwangi, dipercaya memiliki banyak
lokasi yang dikeramatkan dan sering dikunjungi para
peziarah. Banyak kisah aneh yang dialami pengunjung,
terutama mereka yang suka berbicara seenaknya atau
menebang pohon sesukanya. Pengalaman-pengalaman itu
acapkali sulit diterima akal sehat.
 
Bahkan sekali waktu, mereka yang bernasib mujur akan
melihat sosok bayangan manusia berjubah putih di lepas
pantai Cagar Alam Leuweung Sancang. Kata mereka yang
mempercayai, itulah jelmaan sosok Prabu Siliwangi yang
sedang menikmati keindahan pantai Leuweung Sancang.
 
Percaya atau tidak, terserah.
 
***
 
MUNGKIN dan sangat boleh jadi tidak banyak yang
menyadari, mitos yang menyelimuti Leuweung Sancang
yang diwariskan nenek moyang masyarakat Sunda
sebenarnya untuk melindungi ekosistem wilayahnya.
Sikap yang sama hingga kini masih dipegang teguh oleh
masyarakat adat Suku Naga yang menempati wilayah kecil
di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya.
 
Dan pada kenyataannya, masyarakat adat di desa
tersebut hingga kini mampu mempertahankan kawasan
hutannya. Bahkan mereka tetap patuh dengan tidak
memasuki kawasan hutan, terutama kawasan hutan yang
disebut leuweung larangan.
 
Leuweung dalam bahasa Sunda berarti hutan dan larangan
berarti daerah terlarang. Kawasan itu tidak boleh
dimasuki sembarang orang, apalagi tanpa seizin kuncen
sebagai kepala pemangku adat masyarakat Suku Naga.
 
Akan tetapi, kearifan ekologi yang diwariskan secara
turun-temurun itu, kini tidak bisa lagi dipertahankan.
Dengar saja keluhan kuncen masyarakat adat Suku Naga,
Ateng Jaelani, yang menyatakan sudah berulang kali
minta kawasan hutan di wilayahnya tidak ditebangi.
"Kami sudah capek mengadu, tapi tidak ada tindak
lanjutnya," katanya kecewa. Sebagai ekosistem dari
tempat tinggalnya, masyarakat adat di daerah itu
khawatir, suatu saat daerahnya akan kekurangan air.
"Sejak tahun 1978, pertanian di daerah kami sering
gagal karena serangan hama penyakit," katanya.
 
Kawasan hutan yang dirambah, menurut Ateng, terletak
di Gunung Raja, daerah di mana terdapat situs dan
menjadi salah satu tempat ziarah masyarakat adat Suku
Naga. Daerah itu dan daerah lainnya termasuk tanah
adat. Namun, karena dianggap tanah telantar, kawasan
itu kemudian dijadikan tanah negara. Masyarakat Suku
Naga kini hanya menempati wilayah sekitar 10,5 ha, di
mana sekitar 1,5 ha di antaranya dijadikan tempat
permukiman yang jumlahnya 102 kepala keluarga.
 
BAHWA perambahan sekarang ini sudah membabi-buta
dibuktikan dengan perusakan Leuweung Sancang yang
dilakukan secara besar-besaran dan terang-terangan.
Tidak ada lagi mitos dan tidak ada lagi pantangan,
sehingga kawasan yang sebelumnya merupakan taneuh
karuhun yang dititipkan nenek moyangnya itu, kini
sudah menjadi tanah "harta karun" yang jadi rebutan.
 
Dengan berbekal gergaji mesin (chainsaw), mereka
memasuki kawasan yang dulunya penuh dengan pantangan
dan larangan. Tanpa belas kasihan, pohon-pohon yang
seharusnya dilindungi sebagai kekayaan flora dan
sekaligus faunanya itu, habis dibabat.
 
Di atas lahan yang sudah gundul, tanpa mengesankan
perasaan bersalah, Aki Adrah yang sudah berusia 80
tahun berusaha menggarap lahannya untuk kemudian
ditanami padi huma dan jagung. Di sana-sini terdapat
tanaman pepaya sebagai selingan.
 
Mantan anggota Heiho yang mengaku pernah menghadapi
tentara Australia pada Perang Dunia II itu termasuk
salah seorang perambah di Blok Cijeruk, Cagar Alam
Leuweung Sancang. "Lamun teu ngilu, engke moal
kabagian," katanya mengemukakan alasan karena takut
kehabisan lahan jika tidak ikut-ikutan merambah
seperti penduduk lainnya.
 
Memang tidak semua perambah kemudian menggarap lahan
hasil rambahannya. Mak Irah membeli dari penggarap
sebelumnya Rp 325.000 untuk lahan seluas 200 bata yang
kini ditanami padi huma dan jagung.
 
Selain menanami lahannya dengan dua komoditas
tersebut, mereka kemudian mendirikan gubuk dan bahkan
ada penggarap lainnya yang membuka warung untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga praktis,
Leuweung Sancang sekarang ini tidak lagi menyeramkan.
Tidak ada lagi yang namanya rimba raya keangkeran
karena di tengah cagar alam tersebut sudah dimeriahkan
suara radio dan televisi. Antenanya menjulang ditopang
tiang bambu.
 
Leuweung Sancang sudah hampir dua tahun diobok-obok.
Sementara penanggulangannya dirasakan sangat lambat,
jika tidak dikatakan hampir tidak banyak artinya.
Buktinya ?
 
***
 
SELAMA dua kali melakukan inspeksi ke kawasan itu,
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Garut
Dra Indriana Soemarto dua kali menemukan tumpukan kayu
curian yang siap diangkut. Walau dalam kunjungannya
yang ketiga kalinya bersama Dadang Sobari dari
Subseksi Wilayah Konservasi Sumedang dan Garut tidak
menemukan kayu curian, tetapi ia yakin penebangan liar
masih terus berlangsung sehingga areal kerusakan terus
bertambah.
 
Atoy Kuswanda dari Resort KSDA Pameungpeuk
memperkirakan tingkat kerusakan selama dua tahun
terakhir ini sudah mencapai hampir sekitar 600 ha.
Kawasan yang sebelumnya merupakan hutan primer itu,
kini sudah berubah fungsi menjadi lahan pertanian yang
digarap oleh 750 orang.
 
Leuweung Sancang yang terkenal angker dengan mitos
Prabu Siliwangi sebagai salah seorang Raja Sunda yang
terkenal itu, ternyata tidak mempan lagi dijadikan
penangkal perambahan yang dilakukan masyarakat.
Pohon-pohon langka yang umurnya puluhan tahun habis
ditebangi, tanpa rasa risi sedikit pun untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan sebagai latar belakang yang sering
dikemukakan.
 
Akan tetapi, tindakan itu bukan hanya karena latar
belakang ekonomi semata. Dalam pandangan antropolog
Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Dr Kusnaka
Adimihardja, mereka dilukiskan sebagai cerminan
masyarakat yang sudah kehilangan jati dirinya.
Sehingga demi kepentingan perut, mereka tidak bisa
lagi membedakan mana yang halal dan mana yang haram.
 
Sistem kapitalisme yang dijadikan etos-etos membangun
bangsa selama ini ternyata hanya diambil kulitnya
saja, yakni sifat konsumtifnya. Sehingga jalan yang
ditempuh adalah, bagaimana meraih keuntungan
sebesar-besarnya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
 
Jika ditarik ke atas, keadaan ini merupakan refleksi
sikap pemerintah juga sebagai bagian dari kesalahan
struktural masa lalu yang lebih menekankan kepentingan
jangka pendek. Memasuki era reformasi, seharusnya hal
ini memperoleh prioritas perbaikan. Tetapi, hal itu
tidak banyak terjadi, sehingga akibatnya, sistem
tersebut menghancurkan nilai-nilai lokal yang selama
ini menjadi bingkai.
 
Di luar Jawa, bingkai lokal itu dirusak oleh apa yang
disebut hak pengusahaan hutan (HPH). Di sini, bingkai
lokal dirusak oleh sistem aturan yang dikembangkan.
Antara lain dalam bentuk perda yang tidak
mengakomodasikan nilai-nilai lokal, sehingga
nilai-nilai lokal tersebut kehilangan maknanya dalam
kehidupan sekarang.
 
Oleh karena itu, ia menekankan perlu segera adanya
satu keberanian pemerintah yang didukung segenap
aparatnya dalam memulai langkah-langkah yang berani.
Tanpa hal itu ia khawatir mengingat masyarakat
sekarang sedang berada dalam kebimbangan, karena
mereka tidak punya lagi pegangan-pegangan. (Her

Suganda)

Menelusuri Situs Gunung Nagara
OLEH RONI NUGRAHA

DALAM peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13.

Situs Gunung Nagara


BATU Nisan, salah satu peninggalan yang masih tersisa.*
DOK. PRIBADI

Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba dengan suara "gak" yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.

Secara geografis, ia terletak di wilayah Desa Depok-Cisompet-Garut. Menuju daerah tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP 10.000,00, atau jika berangkat dari Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan membayar ongkos Rp 15.000,00. Kita minta diturunkan di Kampung Pagelaran. Dari kampung tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun sekilas tidak ada jalan menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing cadas yang menurut pemikiran normal tidak mungkin untuk didaki tanpa peralatan panjat.

Dari Kampung Pagelaran, kita tinggal berjalan kaki menuju Kampung Depok dengan jarak sekira satu kilometer. Menurut hikayat, nama Depok dikaitkan dengan padepokan. Artinya, perkampungan tersebut pada awalnya merupakan padepokan tempat peristirahatan para gegeden. Sebenarnya, menurut Ki Ecep (sesepuh kampung), pada era enam puluhan, kampung Depok masih merupakan perkampungan dengan tradisi yang sama dengan Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat.

Perjalanan Pagelaran-Depok akan melintasi sungai Cikaso. Bagi mereka yang suka akan keindahan alam, alangkah baiknya terlebih dahulu mengunjungi Batu Opak yang berada kurang lebih setengah kilometer ke arah hulu. Di tempat tersebut kita akan menyaksikan fenomena geologis, yakni batu yang berjajar secara sinergis dari arah bukit menuju sungai dengan bentuk mirip seperti opak. Penduduk sekitar menghubungkan fenomena geologis tersebut dengan legenda Sangkuriang. Yaitu, ketika Sangkuriang akan menikah, Embah Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi, baru saja mereka sampai di Leuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi batu.

Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, di kampung Depok inilah bisa menemui Ki Sanang (kuncen) untuk minta diantar. Dari Depok, kita melanjutkan perjalanan menuju Cidadap dengan jarak kurang lebih setengah kilometer, perjalanan ini melewati pesawahan yang tidak terlalu luas. Di Cidadap inilah terdapat mata air yang dikeramatkan. Secara nalar, air dapat menyegarkan badan. Perjalanan baru akan mendapat tantangan manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup terjal (Cidadap-Gunung Nagara). Terkadang kita harus melewati jalanan yang kemiringannya mencapai 75 derajat. Dari Cidadap, kita tidak akan menjumpai jalanan yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun kelelahan kita bisa beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai paling-paling memakan waktu sekira setengah jam.

Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besar-besar. Setiap kuburan dihiasi batu "sakoja" dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kubur­an yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekira dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan patihnya.

Menurut Kepala Desa Depok, Abdul Rasyid, tiga pusaran tersebut melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi'un dan pusaran ketiga melambangkan sab'ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua merupakan kuburan panglima dan pusaran ketiga merupakan kuburan raja dan patih. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab.

Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih ada, terpencar di perseorangan.

Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi di Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat di dekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.

Legenda Kian Santang

Menurut sebagian besar masyarakat Depok, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi (raja pajajaran yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.

Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat persinggahan Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-Karangpawitan-Garut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan "Godog" yang mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan "Kawah Candradimuka", dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut dinamakan "Suci", yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan.

Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata. (Penulis adalah anggota KPA Jirim)